Senin, 18 Februari 2013

a bad people not always bad heart

sebelumnya, maafkan saya sebagai penulis blog ini karena sangat tidak memperhatikan yang namanya GRAMMAR..


inilah suatu amanat dari sebuah biografi tokoh pewayangan jawa dalam cerita Ramayana, yaitu Kumbakarna.

pasti pada belum pernah denger ini nama wayang, atau kalo udah pernah itu kalo dia sering nonton wayang setiap malem jumat seperti saya

sebenernya saya sendiri juga bukan semata mata karena tertarik begitu saja dengan tokoh tersebut. sebenarnya saya itu mencari biografi tokoh itu cuma buat Ujian Praktek Bahasa Jawa ( dan besok ada Ujian Praktek Agama, tapi saya malah lebih memilih apdet blog ini ) yang barusan tadi saya  lakukan di sekolah ( jangan tanya gimana hasilnya, JANGAAANN !!! ). saya ( jujur ) sebagai orang jawa yang kurang mencintai budaya kita sendiri, Pewayangan. jadi kalo ditanya mengenai wayang dkk jangan tanya saya deh ._.

kembali ke jalan yang lurus..

sorry readmore dulu ya ( biar nambah jumlah visitor blog XD )

Kumbakarna, si raksaksa yang berasal dari negeri Alengka, adalah adik dari seorang Dasamuka utawa Rahwana alias seorang rajanya Antagonis. paling kejem, paling sakti, dan paling sampah

Kumbakarna ini, walaupun memiliki kakak yang sesampah beliau, dia tetap berpegang teguh pada sifat kesatria-nya. Setiap kali kakaknya melakukan hal yang dirasa Kumbakarna kurang tepat, ia selalu menasehati kakak pertamanya tersebut.

Kumbakarna bukan seperti tokoh lain, yaitu Gunawan Wibisono. Wibisono ini ceritanya ( sekilas baca punya temen ._. ) adiknya rahwana dan kumbakarna yang paling kecil. Wibisono gak setuju sama kebijakan kebijakan 1st kakaknya. jadi dia menentang ( atau ngapain gitu.. pokoknya begitulah kurang merhatiin ) dan akhirnya diusir sama Rahwana keluar dari kerajaan sang kakak.

Kumbakarna selalu sabar dalam menghadapi kakaknya yang seperti itu. selalu menasehati dan terus menasehati ( sampe ceritanya rahwana-nya ini sampe panas telinganya di ingetin terus :hammer: )

singkat cerita, Kumbakarna dikutuk sama Bhatara guru tidur 6 bulan dan bangun 6 bulan ( alamak kalo saya mah, di perjalanan tidurnya mungkin sudah melayang duluan ._. )

pas kerajaannya si Rahwana sama Kumbakarna diserang sama pasukan Rama bersama dengan Wibisono ( ini yang bikin cerita agak kontroversial ya ._. ) yang bergabung sama pasukan Anoman ( masa gak tau ini makluk, itu lho yang kaya topeng monyet warna putih :Peace: ) dkk.

pas kerajaannya rahwana ini diserang, Rahwana bangunin penasehat sekaligus adiknya, si Kumbakarna. yang bikin agak lucu sih, udah diinjek injek gajah, digiles kereta, dikasih klakson sekenceng kencengnya, ini raksaksa gak bangun bangun juga :hammer: 

dan yang bikin awkward itu adalah dia bangun gara gara bulu kakinya dicabut -A-

oke.. singkat cerita,

Kumbakarna disuruh sama kakaknya tersebut supaya memberantas pasukan rama dan monyet monyetnya. lah Kumbakarna mana mau, apalagi kalo disuruh kakaknya, yang dari dulu udah diingetin supaya jangan cari masalah sama rama karena nyulik shinta, kaya cowok gak laku aja cari cewek aja pake disekap sekap segala :P

lah kakaknya satu ini emang egois, dia marah gara gara adiknya ini kagak mau disuruh maju perang. lah, Kumbakarna-nya malah ikutan marah marah, sampe makanan ( yang sebelumnya dimakan ) dimuntahin di depan kakaknya sendiri ( INI PATUT DICONTOH ! SANGAT PATUT ! )

akhirnya Kumbakarna, sebagai seorang kesatria negerinya, berangkat perang demi tanah airnya, bukan karena kakaknya.

sebelumnya, menurut kalian siapa yang protagonis dan antagonis? saya yakin pasti pada milih si Kumbakarna ( saya saja juga seperti itu )

padahal, asal kalian tau Kumbakarna itu adalah seorang Antagonis, yang berhati Protagonis.

sesampainya di medan perang, Kumbakarna ketemu adiknya yang terbuang, yaitu Wibisono, yang memihak kepada Rama. mereka berbincang bincang sebentar sebelum bertempur.

“Kamu pengkhianat, Wibisana!” Ucap Kumbakarna tajam terasa menusuk hati Wibisana. Namun senopati negeri Pancawati itu hanya diam saja. Jika yang bicara bukan kakak kandungnya mungkin sudah dirobek-robek mulutnya.
            “Jika kamu mengaku prawira semestinya kamu mendukung Rahwana, bukan malah membelot memusuhinya. Manusia macam apa kamu ini?”
            “Bagaimana aku harus mendukung orang yang telah berbuat kejahatan, Kakang. Semestinya Kakang Kumbakarna mendukung saya. Kakang harus melawan Kakang Rahwana!” ujar Wibisana.
            “Kamu pikir aku hanya diam saja melihat kelakuan Kakang Rahwana? Aku tak pernah berhenti untuk menyadarkannya. Tapi sudah sifat Kakang Rahwana begitu. Sebentar sadar, sebentar kumat. Namun bukan berarti kita harus meninggalkannya. Bagaimana pun dia adalah saudara kita. Dia kakak tertua yang mesti dihormati. Jika dia berbuat salah dan khilaf, kitalah yang wajib meluruskannya…”
            “Aku sudah pernah berusaha menyadarkannya, Kakang. Tapi lihat hasilnya, Kakang Rahwana tidak pernah berubah. Dia bahkan marah-marah dan mengusirku pergi dari Alengka. Mentang-mentang aku anak bungsu, dia selalu merendahkanku!”
            “Tapi bukan berarti kamu harus pergi ke Pancawati dan membelot kepada Ramawijaya. Di mana rasa hormatmu pada negeri leluhur?!”
            Wibisana kembali terdiam. Dalam hatinya memang ada rasa sesal harus meninggalkan negeri tumpah darah tempat dia pernah dilahirkan dan dibesarkan. Namun perasaan jeri melihat sepak terjang Rahwana yang kelewat batas dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan membuatnya tak sanggup bertahan. Jiwanya berontak menyaksikan kesewenang-wenangan kakaknya.
            Sebagai seorang pemimpin, Rahwana semestinya bisa menjadi panutan dan teladan bagi adik-adiknya, terlebih bagi rakyatnya. Kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Tapi tidak, Rahwana menjadikan jabatan raja sebagai sarana untuk melampiaskan syahwat kekuasaan dan melanggengkan kepentingan pribadi. 
            Jika dirinya memilih hengkang dari negeri Alengka, hal itu semata untuk menghindarkan diri dari pengaruh buruk sang kakak. Dia tidak bisa bersekutu dalam kejahatan. Meskipun Rahwana menawarinya jabatan tinggi di kerajaan Alengka, bahkan mengiming-imingi berbagai fasilitas dan kemewahan, namun hati nuraninya menolak. Bagaimana dia bisa nyaman duduk sebagai pejabat tinggi, sementara banyak rakyat di bawah yang menderita karena kemiskinan dan kelaparan.
            Wibisana memiliki prinsip tegas. Jika salah katakan salah, jika benar katakan benar. Karenanya dia tak habis mengerti dengan sikap Kumbakarna, kakaknya. Meski berwujud raksasa dan buruk rupa, tapi hati Kumbakarna sangatlah baik dan halus. Dia sering melakukan hal-hal yang baik dan terpuji. Wibisana banyak meniru dan meneladani sifat Kumbakarna. Sayangnya, Kumbakarna masih saja membela Rahwana. Dengan dalih persaudaraan dan rasa kemanusiaan dia tidak mau meninggalkan saudara tuanya itu.
            Ketika Ramawijaya mengobarkan perlawanan kepada Rahwana dan akan menyerbu negeri Alengka perasaan Wibisana jadi gundah. Dia teringat pada Kumbakarna yang sangat dikasihinya. Dia tak mau berhadapan dengan saudaranya sendiri. Dia lalu menemui Kumbakarna dan menyarankan agar bergabung bersama pasukan Ramawijaya memerangi Rahwana. Tapi apa lacur? Kumbakarna malah marah dan mencapnya sebagai pengkhianat. Hati Wibisana jadi galau. Maksud baiknya ingin menyelamatkan kakaknya ditanggapi lain.
            “Aku melakukan semua ini karena rasa sayangku pada Kakang. Aku tak mau Kakang mati sia-sia. Kakang tahu seberapa besar kekuatan Ramawijaya dan pasukannya. Mereka tak bisa dikalahkan. Lagi pula sudah menjadi suratan bahwa kebenaran akan menang melawan kejahatan. Aku tidak mau Kakang mati karena membela kejahatan!” ujar Wibisana sekali lagi membujuk Kumbakarna.
            “Kamu salah kalau menyangka aku membela kejahatan. Kalau pun nanti aku mati dalam peperangan, maka aku mati karena membela negaraku. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah meninggalkan negeri Alengka. Aku mencintai negeri ini. Kamu tak bisa merubah pendirianku!” tegas Kumbakarna.
            “Tapi, Kakang…?”
            “Sudahlah, Wibisana! Kamu tak perlu membujukku. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa dipengaruhi. Aku tahu kamu punya niat baik. Aku menghargai pendapatmu, tapi aku harap kamu juga bisa menghargai pendapatku. Kita memiliki sikap yang berbeda. Tak perlu kita saling memaksakan kehendak!” tandas Kumbakarna.
            Wibisana terpekur. Wajahnya meliut diliputi mendung. Hatinya sedih, karena keinginan mulia ingin menyelamatkan kakaknya tak mendapat respon positif. Namun setelah direnungkan dalam-dalam, dia bisa mengerti dan memahami pendirian kakaknya. Dia melihat sikap luhur dan jiwa keprawiraan pada diri Kumbakarna. Apa pun kenyataan yang terjadi Kumbakarna tetap teguh memegang prinsip membela negeri yang telah membesarkannya, terlepas salah atau benar!
            Tiba-tiba ada suara menggugat dalam diri Wibisana, apakah jalan yang kutempuh ini sudah benar? Manusia macam apakah aku ini yang berani melawan keluarga sendiri dan memerangi negeri tempat kelahiran? Kegundahan dan kegalauan membayangi hati Wibisana. Membuatnya resah gelisah. Perasaan itu terus terbawa hingga dia kembali ke negeri Pancawati. 
            Sementara itu, setelah kepergian adiknya, Kumbakarna pun galau dan bimbang. Suatu dorongan kuat berusaha menggoyahkan pendiriannya. Sejatinya, dia sangat terharu mendengar niat mulia Wibisana yang hendak menyelamatkannya dari ancaman bahaya besar. Dia tahu, Wibisana sangat menyayanginya sebagaimana dia juga menyayangi adik bungsunya itu. Di tengah kegundahan melihat perilaku Rahwana dan Sarpakenaka yang sulit diatur, masih terselip rasa bangga melihat Wibisana yang berperilaku baik dan lurus.
            Sungguh, bukan hal mudah menghadapi kebathilan dan kezaliman terjadi di depan mata. Apalagi bila hal itu dilakukan oleh saudara sendiri. Sudah sepatutnya kejahatan ditumpas. Karena kejahatan bisa merusak tatanan dan menghancurkan kehidupan. Namun, dalam pandangan Kumbakarna, kedua saudaranya itu sebenarnya tidak jahat. Semua anak yang terlahir ke dunia ini dalam keadaan suci tanpa dosa. Jika kemudian mereka berubah menjadi jahat, itu karena salah asuh, salah ajar, dan salah bergaul.
            Waktu kecil Rahwana dan Sarpakenaka jarang mendapat perhatian dari kedua orang tua. Bapak Wisrawa terlalu sibuk mengurus pekerjaan, sementara ibunda Sukesi direpotkan oleh Wibisana dan Kumbakarna yang saat itu masih bayi. Rahwana dan Sarpakenaka menimba ilmu di sekolah yang akrab dengan budaya kekerasan. Guru mereka kerap menghajar murid-murid yang tidak patuh. Mereka juga sering bolos, berantem, bergaul bebas, mengonsumsi narkoba, dan berbagai kenakalan lainnya.
            Mereka belajar dari pengalaman hidup yang akrab dengan kekerasan, intoleransi, kebencian, permusuhan, dan nilai-nilai buruk lainnya. Mereka tidak pernah diajarkan berbagi kasih sayang pada sesama dan menghargai orang lain, apalagi berketuhanan. Mereka mengenal Tuhan hanya di tempat ibadah, sementara di luar mereka menuhankan kekuasaan, materi, kemewahan, dan kesenangan duniawi lainnya.
            Sifat jahat Rahwana juga terbentuk oleh rasa kecewa dan tidak puas akan kenyataan yang terjadi. Berulangkali dia dikecewakan oleh dewata yang tidak berpihak padanya. Dia pernah meminang Dewi Sri, primadona kahyangan, tapi ditolak oleh dewata. Dia lalu dijanjikan akan diberikan ganti titisannya, yakni Dewi Shinta. Tapi kenyataan kemudian Dewi Shinta diberikan pada Rama. Dia juga pernah dikecewakan oleh perbuatan Dewa Brahma yang telah mengutuk Kumbakarna menjadi raksasa tukang tidur.
            Tapi yang lebih mengecewakan dan membuatnya sakit hati adalah ketika Subali, guru yang sangat dihormatinya, tewas di tangan Ramawijaya. Padahal dia membela Subali yang sebenarnya lebih berhak atas tahta kerajaan Guakiskenda. Kematian Subali tak lepas dari campur tangan dewata. Mereka lebih berpihak pada Sugriwa, adik Subali, untuk menjadi raja di kerajaan Guakiskenda. Akumulasi dari rasa kecewa dan sakit hati inilah yang memunculkan dendam dan kebencian Rahwana.
            Maka, ketika Rahwana kemudian menculik dan menyekap Dewi Shinta, dia menganggap perbuatannya itu adalah benar. Dia ingin mengambil hak yang pernah dijanjikan oleh dewata. Kumbakarna sudah berusaha mengingatkan dan membujuk kakaknya agar mengembalikan istri Ramawijaya itu, namun Rahwana bersikukuh pada pendiriannya. Dia tidak akan pernah memberikan apa yang sudah menjadi haknya.
            “Tapi Dewi Shinta sudah menjadi istri Ramawijaya, Kakang. Sampean tak berhak memilikinya. Itu namanya merusak pagar ayu. Di mana kewibawaan dan kehormatan kakang sebagai raja? Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan seksi daripada memperebutkan Dewi Shinta yang hanya akan mendatangkan bencana!” ujar Kumbakarna mengingatkan kakaknya.
            “Aku juga ingin menegakkan kewibawaan dan kehormatanku sebagai raja, Adikku. Kamu tahu, selama ini aku selalu direndahkan dan disepelekan oleh para dewata. Mereka selalu menyanjung Ramawijaya. Mereka menganggapku manusia rendah. Kini akan kubuktikan bahwa aku punya kekuatan dan kekuasaan! Aku tak mau disepelekan!” tutur Rahwana berapi-rapi.
            “Tak ada kehormatan yang ditegakkan di atas kezaliman, Kakang. Perbuatan kakang mengambil istri orang adalah kezaliman!”
            “Kenapa kamu berkata begitu, Kumbakarna. Tidakkah kamu ikut merasakan besarnya luka dalam hatiku ini? Tidakkah kamu iba melihatku merana direndahkan oleh orang-orang itu? Apakah kamu lebih suka memihak mereka daripada saudaramu sendiri? Tegakah kamu meninggalkanku sendiri?”
            Ucapan Rahwana yang sangat sentimentil itu terasa menyentuh kalbu Kumbakarna. Hati Kumbakarna yang seputih salju tak sanggup menatap mata kakaknya yang dihiasi luka. Dia pun tak kuasa menentang sang kakak.
            Perasaan semacam ini kembali muncul saat Wibisana datang membujuknya untuk meninggalkan Rahwana. Dilema dan kebimbangan menyekap dirinya. Muncul pertanyaan yang amat mengganggu dan mengusik hatinya, sudah benarkah aku membela Rahwana? Di mana hati nuraniku dalam melihat kebenaran?

*nangis sebentar* 
o iya cerita diatas diambil dari link : http://www.alampur.com/2012/04/13/galau-wibisana-dan-kumbakarna/ ( kasih sumber deh, daripada dikira plagiat n tukang copas.. )
oke, kurang lebih seperti itu percakapannya. bisa dibilang cerita diatas itu menghadirkan suatu pandangan layaknya 2 sisi koin. ada yang lebih memihak kepada Wibisono dan Kumbakarna. tapi sebenernya sih, si Wibisono yang jadi Protagonisnya ( yang tadi wayangnya dapet jatah Wibisono, ngguyu sek ! )
lalu tinggal bagaimana pandangan kita, sebagai Manunggal Rasa di cerita ini..
oke, lanjut ya. yang terharu, nih saya punya banyak lap basah, mau pinjem gak? *sambil kibas kipasin*
Kumbakarna akhirnya gugur setelah perang. matinya ngeri deh, namanya juga orang sakti ( kalian tau kalo dukun mati kayak gimana? Kumbakarna mirip mirip sama orang pintar kayak begito ). hidung sama telinganya digigit sama Sugriwa, seorang monyet. tangannya dipanah sama rama, tapi ini raksaksa masih bisa nginjek nginjek pasukan dibawahnya, dipanahlah kakinya, dan yang bikin saya =)) adalah dia masih bisa guling guling buat lawan pasukan tersebut @_@. dan yang terakhir, rama langsung memanah lehernya, dan Kumbakarna akhirnya gugur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar